Budaya
Kuno di Tengah Generasi Milenial
(Oleh: Raodah)
Permasalahan
yang berkaitan dengan perempuan merupakan isu lama yang masih terus
diperbincangkan dengan harapkan dapat diselesaikan. Diskursus tentang perempuan
tetap aktual dan terus didiskusikan mengingat masih banyak ketidak adilan yang
masih bertahan dimasyarakat sampai sat ini. Permasalahan yang berkaitan erat
dengan perempuan disebabkan oleh dua faktor yaitu eksternal dan internal.
Faktor eksternalnya realitas sosial, politik dan ekonomi global yang masih
berpihak pada pelestarian budaya patriarki. Faktor internalnya antara lain dari
sisi umat islam yang masih terjebak dalam pemahaman doktrin ajaran yang bias
gender, doktrin agama yang bias gender masih dilestarikan untuk kepentingan
dalam menguasai beberapa pihak.
Untuk
mengetahui apa dan bagaimana
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terlebih dahulu kita harus
mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan adalah perbuatan berdasarkan jenis kelamin yang memberikan
dampak negatif, seperti penderitaan
terhadap perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Bentuknya bisa berupa
ancaman, pemaksaan, perampasan hak secara sewenang-wenang baik itu dimuka umum
maupun secara tertutup
Dalam sejarah
manusia, perempuan sudah sejak lama menerima perlakuan bias gender. Masa Yunani
kuno perempuan dipandang sebagai fasilitas kenikmatan seksual. Masa Romawi
perempuan dapat diperjualbelikan. Pada peradaban India perempuan tidak memiliki
hak hidup setelah suaminya meninggal, ia diharuskan ikut membakar dirinya
bersama jasad suaminya. Lalu pada masyarakat Arab jahilia beberapa suku pada
masa itu beranggapan bahwa memiliki anak perempuan merupakan aib dan musibah,
sehingga banyak kasus penguburan bayi perempuan. Dan sampai hari ini bias
gender terhadap perempuan masih terus terjadi.
Dalam kehidupan
sehari-hari masih banyak yang belum tahu bahwa beberapa hal yang mereka lakukan
merupakan manifestasi dari ketidak adilan gender terhadap perempuan. Berikut
ini merupakan uraian bentuk-bentuk manifestasi ketidak adilan gender yang masih
melekat dalam masyarakat.
1.
Stereotip
Stereotip adalah labelisasi negatif yang diberikan kepada
perempuan dalam konteks hubungan sosial dengan laki-laki. Stereotip atau stereotype cenderung
merugikan perempuan seperti anggapan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah
secara fisik dan intelektual sehingga tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan
hanya cocok diranah domestik. Perempuan adalah mahluk yang suka bersolek dan
menjadi sumber perbuatan yang melanggar norma dalam masyarakat.
2.
Marginalisasi
Marginalisasi terhadap perempuan terjadi diranah domestik maupun
publik. Ditempat kerja bentuk marginalisasi yang paling sering terjadi adalah
perbedaan upah terhadap tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Dalam ranah
domestik dibeberapa masyarakat lebih mementingkan pendidikan bagi anak
laki-laki dari anak perempuan. Contohnya dalam masyarakat Lamaholot Kabupaten
Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, anak laki-laki mendapatkan hak yang
sangat banyak yaitu hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, menerima warisan,
hak untuk mendapatkan kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta hak untuk
memperoleh pendidikan. Lalu bagaimana dengan anak perempuan, hak apa saja yang
diperoleh perempuan baik hak dia sebagai anak, istri maupun sebagai individu
dalam masyarakat. Perempuan dalam suku Lamahotol menjalankan kewajiban yang
besar namun menerima hak yang sangat sedikit. Ada kesenjangan yang besar yang
diterima oleh perempuan dalam suku tersebut, dimana perempuan tidak memiliki
hak berbicara atau menyampaikan pendapat, tidak memiliki hak waris, juga tidak
diperioritaskan dalam kebutuhan sandang, pangan maupun papan, tetapi disisi
lain tugas domestik menjadi tanggung jawabnya baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun saat ritual adat. Anak perempuan tidak memperoleh pendidikan, masyarakat
suku Lamahoto menganggap bahwa memberikan pendidikan kepada anak perempuan
adalah sebuah kerugian karena setelah menikah anak perempuan akan masuk kedalam
suku suaminya.
3.
Subordinasi
Subordinasi lahir dari bias gender yang menempatkan perempuan tidak
lebih penting dari laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari seringnya muncul
anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dengan alasan bahwa
perempuan itu emosional atau irasional. Anggapan tersebut berakibat pada tidak
diakuinya potensi perempuan dalam lingkungan kerja, sehingga perempuan mengalami
kesulitan dalam memperoleh posisi strategis dan sentral dalam komuninas dan
pengambilan keputusan.
4.
Violence
Violence merupakan kekerasan yang muncul dari pandangan bias gender
yang menempatkan salah satu jenis kelamin lebih superior (laki-laki) dari
perempuan yang dianggap inferior. Dampak dari bias gender ini dimana laki-laki
menggunakan kekerasan untuk menunjukan dominasinya terhadap perempuan. Banyak
kekerasan yang timbul dalam masyarakat yang menunjukan dominasi tersebut antara
lain pemerkosaan, pemukulan, kekerasan terselubung, pelecehan seksual dan
sterilisasi dalam keluarga berencana. Sadar atau tidak sterilisasi dalam keluarga
berencana merupakan salah satu bentuk
dari kekerasan yang diterima perempuan. Menunda kelahiran dengan memasang alat
atau menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan bukan hanya keharusan bagi
perempuan atau istri tetapi juga bagi laki-laki atau suami. Namun dikalangan
masyarakat patriarki hal tersebut menjadi keharusan bagi perempuan atau istri
dan laki-laki atau suami tidak diharuskan memasang alat kontrasepsi.
5.
Beban
ganda
Beban
ganda dialami oleh perempuan yang bekerja diranah publik. Perempuan yang sudah
bisa mengakses dunia luar seperti bekerja di sektor publik mereka juga
dibebankan oleh pekerjaan domestik. Dalam hal ini pekerjaan rumah seolah-olah
menjadi kewajibannya, sehingga walaupun perempuan bekerja sebagai pegawai dan
sejenisnya dia juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, nyapu, ngepel,
masak dan lain sebagainya. Beban ganda masih banyak terjadi dilingkungan
masyarakat baik yang terpelajar maupun maupun tidak.
Ditengah masyarakat milenial hal-hal
bias gender tersebut masih sering terjadi. Lalu apa yang membedakan masyarakat
milenial dengan masyarakat jaman dahulu yang dari segi ilmu pengetahuna dan
teknologi kita jauh lebih maju, dan konon katanya generasi milenial hampir
seluruhnya melek teknologi. Dari uraian singkat diatas membuktikan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak benar-benar menjamin orang bisa berlaku
adil gender dalam praktik kehidupannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak benar-benar membuat orang bisa keluar dari zona nyaman budaya
patriarki, dari sini kita paham bahwa belajar tanpa dibarengi dengan niat ingin
keluar dari budaya buruk tidak bisa dijadikan standar, bahwa generasi milenial
adalah generasi yang bisa menghapus jejak peradaban jahilia. Dari urain diatas
justru generasi ini masih dibayangi, dan masih terbelenggu dengan budaya-budaya
kuno yang dibungkus dengas kofer modern. Untuk itu perlu diberikan pendidikan
adil gender sejak dini.
Berikut beberapa hal yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk pendidiakn dalam
penanganan bias gender sejak dini.
Memberikan pendidikan adil gender
pada anak sejak dini. Pendidikan adil gender bisa diterapkan mulai dari lini
terkecil yaitu keluarga dengan cara memberikan hak yang sama kepada anak
laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Kemudian memberikan
kebebasan anak untuk memilih permainannya dan cara bermainnya. Tanpa harus
diarahkan seperti, anak perempuan harus bermain masak-masak atau boneka dan
anak laki-laki bermain sepak bola atau bermain dengan menggunakan robot.
Melatih anak laki-laki dan perempuan untuk mengerjakan pekerjan domestik dan
saling bertukat pekerjaan, dengan memberikan penjelasan dan pemahaman sesuai
dengan usia masing-masing anak. Dengan pemahaman dan pendidikan sejak dini
dapat mengantisispasi terjadinya perilaku bias gender ketika anak-anak dewasa
dalam hal melaksanakan tugas domestik. Membebaskan anak untuk berkreativitas sesuai
dengan pengetahuan dan bakat. Memberikan penjelasan bahwa bertukar peran sosial
bukan suatu hal yang salah sehingga ketika mereka dewasa dan hidup berkeluarga
menjadi terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa menganggap bahwa pekerjaan
tersebut adalah pekerjaan perempuan saja. Penjelasan dan pemahaman seperti itu
dapat membangun masyarakat harmonis, terbuka dan lebih maju karena setiap orang
bisa mengembangkan kreatifitas masing-masing sesuai bakat dan kemampuannya.
Laki-laki dan perempuan tidak dibatasi ruang geraknya dalam mencari pekerjaan
yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan adanya peran gender yang
seimbang pemanfaatan sumber daya manusia bisa lebih produktif.
Sumber
Mansour Fakih. 2013. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.Dodhy Hyronimus Ama Longgy. Budaya Patriarki Dan Pendidikan Anak Perempuan (Studi Pada Budaya Lamaholot Di Waipukang Nusa Tenggara Timur). Diakses dari laman https://core.ac.uk/download/pdf/33529093.pdfMariatul Qibtiyah Harun AR. Rethinking Peran Perempuan Dalam Keluarga . Diakses pada laman file:///C:/Users/Asus/Downloads/RETHINKING_PERAN_PEREMPUAN_DALAM_KELUARGA.pdfAgung. Hindarkan Pendidikan Bias Gender pada Anak. Diakses pada laman https://ugm.ac.id/id/newsPdf/3546-hindarkan-pendidikan-bias-gender-pada-anak
Tulisan di atas adalah karya salah seorang anggota Kohati Komisariat Adab sebagai bentuk peningkatan budaya literasi.
Kindly get updates from us on our instagram account @kohatiadab
Baca lainnya:
Semarak Hari Kartini
Kohati Adab
Merajut Pribadi Muslimah Insan Cita