Jumat, 12 Juni 2020



Budaya Kuno di Tengah Generasi Milenial
 (Oleh: Raodah)

Permasalahan yang berkaitan dengan perempuan merupakan isu lama yang masih terus diperbincangkan dengan harapkan dapat diselesaikan. Diskursus tentang perempuan tetap aktual dan terus didiskusikan mengingat masih banyak ketidak adilan yang masih bertahan dimasyarakat sampai sat ini. Permasalahan yang berkaitan erat dengan perempuan disebabkan oleh dua faktor yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternalnya realitas sosial, politik dan ekonomi global yang masih berpihak pada pelestarian budaya patriarki. Faktor internalnya antara lain dari sisi umat islam yang masih terjebak dalam pemahaman doktrin ajaran yang bias gender, doktrin agama yang bias gender masih dilestarikan untuk kepentingan dalam menguasai beberapa pihak.

Untuk mengetahui  apa dan bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah perbuatan berdasarkan jenis kelamin yang memberikan dampak negatif,  seperti penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Bentuknya bisa berupa ancaman, pemaksaan, perampasan hak secara sewenang-wenang baik itu dimuka umum maupun secara tertutup

Dalam sejarah manusia, perempuan sudah sejak lama menerima perlakuan bias gender. Masa Yunani kuno perempuan dipandang sebagai fasilitas kenikmatan seksual. Masa Romawi perempuan dapat diperjualbelikan. Pada peradaban India perempuan tidak memiliki hak hidup setelah suaminya meninggal, ia diharuskan ikut membakar dirinya bersama jasad suaminya. Lalu pada masyarakat Arab jahilia beberapa suku pada masa itu beranggapan bahwa memiliki anak perempuan merupakan aib dan musibah, sehingga banyak kasus penguburan bayi perempuan. Dan sampai hari ini bias gender terhadap perempuan masih terus terjadi. 

Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang belum tahu bahwa beberapa hal yang mereka lakukan merupakan manifestasi dari ketidak adilan gender terhadap perempuan. Berikut ini merupakan uraian bentuk-bentuk manifestasi ketidak adilan gender yang masih melekat dalam masyarakat.
1.      Stereotip
Stereotip adalah labelisasi negatif yang diberikan kepada perempuan dalam konteks hubungan sosial dengan laki-laki. Stereotip atau stereotype cenderung merugikan perempuan seperti anggapan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah secara fisik dan intelektual sehingga tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan hanya cocok diranah domestik. Perempuan adalah mahluk yang suka bersolek dan menjadi sumber perbuatan yang melanggar norma dalam masyarakat.
2.      Marginalisasi
Marginalisasi terhadap perempuan terjadi diranah domestik maupun publik. Ditempat kerja bentuk marginalisasi yang paling sering terjadi adalah perbedaan upah terhadap tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Dalam ranah domestik dibeberapa masyarakat lebih mementingkan pendidikan bagi anak laki-laki dari anak perempuan. Contohnya dalam masyarakat Lamaholot Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, anak laki-laki mendapatkan hak yang sangat banyak yaitu hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, menerima warisan, hak untuk mendapatkan kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta hak untuk memperoleh pendidikan. Lalu bagaimana dengan anak perempuan, hak apa saja yang diperoleh perempuan baik hak dia sebagai anak, istri maupun sebagai individu dalam masyarakat. Perempuan dalam suku Lamahotol menjalankan kewajiban yang besar namun menerima hak yang sangat sedikit. Ada kesenjangan yang besar yang diterima oleh perempuan dalam suku tersebut, dimana perempuan tidak memiliki hak berbicara atau menyampaikan pendapat, tidak memiliki hak waris, juga tidak diperioritaskan dalam kebutuhan sandang, pangan maupun papan, tetapi disisi lain tugas domestik menjadi tanggung jawabnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat ritual adat. Anak perempuan tidak memperoleh pendidikan, masyarakat suku Lamahoto menganggap bahwa memberikan pendidikan kepada anak perempuan adalah sebuah kerugian karena setelah menikah anak perempuan akan masuk kedalam suku suaminya.
3.      Subordinasi
Subordinasi lahir dari bias gender yang menempatkan perempuan tidak lebih penting dari laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari seringnya muncul anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dengan alasan bahwa perempuan itu emosional atau irasional. Anggapan tersebut berakibat pada tidak diakuinya potensi perempuan dalam lingkungan kerja, sehingga perempuan mengalami kesulitan dalam memperoleh posisi strategis dan sentral dalam komuninas dan pengambilan keputusan.
4.      Violence
Violence merupakan kekerasan yang muncul dari pandangan bias gender yang menempatkan salah satu jenis kelamin lebih superior (laki-laki) dari perempuan yang dianggap inferior. Dampak dari bias gender ini dimana laki-laki menggunakan kekerasan untuk menunjukan dominasinya terhadap perempuan. Banyak kekerasan yang timbul dalam masyarakat yang menunjukan dominasi tersebut antara lain pemerkosaan, pemukulan, kekerasan terselubung, pelecehan seksual dan sterilisasi dalam keluarga berencana. Sadar atau tidak sterilisasi dalam keluarga berencana  merupakan salah satu bentuk dari kekerasan yang diterima perempuan. Menunda kelahiran dengan memasang alat atau menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan bukan hanya keharusan bagi perempuan atau istri tetapi juga bagi laki-laki atau suami. Namun dikalangan masyarakat patriarki hal tersebut menjadi keharusan bagi perempuan atau istri dan laki-laki atau suami tidak diharuskan memasang alat kontrasepsi.
5.      Beban ganda
Beban ganda dialami oleh perempuan yang bekerja diranah publik. Perempuan yang sudah bisa mengakses dunia luar seperti bekerja di sektor publik mereka juga dibebankan oleh pekerjaan domestik. Dalam hal ini pekerjaan rumah seolah-olah menjadi kewajibannya, sehingga walaupun perempuan bekerja sebagai pegawai dan sejenisnya dia juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, nyapu, ngepel, masak dan lain sebagainya. Beban ganda masih banyak terjadi dilingkungan masyarakat baik yang terpelajar maupun maupun tidak. 

Ditengah masyarakat milenial hal-hal bias gender tersebut masih sering terjadi. Lalu apa yang membedakan masyarakat milenial dengan masyarakat jaman dahulu yang dari segi ilmu pengetahuna dan teknologi kita jauh lebih maju, dan konon katanya generasi milenial hampir seluruhnya melek teknologi. Dari uraian singkat diatas membuktikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak benar-benar menjamin orang bisa berlaku adil gender dalam praktik kehidupannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak benar-benar membuat orang bisa keluar dari zona nyaman budaya patriarki, dari sini kita paham bahwa belajar tanpa dibarengi dengan niat ingin keluar dari budaya buruk tidak bisa dijadikan standar, bahwa generasi milenial adalah generasi yang bisa menghapus jejak peradaban jahilia. Dari urain diatas justru generasi ini masih dibayangi, dan masih terbelenggu dengan budaya-budaya kuno yang dibungkus dengas kofer modern. Untuk itu perlu diberikan pendidikan adil gender sejak dini. 

Berikut beberapa hal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk pendidiakn dalam penanganan bias gender sejak dini.

Memberikan pendidikan adil gender pada anak sejak dini. Pendidikan adil gender bisa diterapkan mulai dari lini terkecil yaitu keluarga dengan cara memberikan hak yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Kemudian memberikan kebebasan anak untuk memilih permainannya dan cara bermainnya. Tanpa harus diarahkan seperti, anak perempuan harus bermain masak-masak atau boneka dan anak laki-laki bermain sepak bola atau bermain dengan menggunakan robot. Melatih anak laki-laki dan perempuan untuk mengerjakan pekerjan domestik dan saling bertukat pekerjaan, dengan memberikan penjelasan dan pemahaman sesuai dengan usia masing-masing anak. Dengan pemahaman dan pendidikan sejak dini dapat mengantisispasi terjadinya perilaku bias gender ketika anak-anak dewasa dalam hal melaksanakan tugas domestik. Membebaskan anak untuk berkreativitas sesuai dengan pengetahuan dan bakat. Memberikan penjelasan bahwa bertukar peran sosial bukan suatu hal yang salah sehingga ketika mereka dewasa dan hidup berkeluarga menjadi terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa menganggap bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan perempuan saja. Penjelasan dan pemahaman seperti itu dapat membangun masyarakat harmonis, terbuka dan lebih maju karena setiap orang bisa mengembangkan kreatifitas masing-masing sesuai bakat dan kemampuannya. Laki-laki dan perempuan tidak dibatasi ruang geraknya dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan adanya peran gender yang seimbang pemanfaatan sumber daya manusia bisa lebih produktif.

Sumber
Mansour Fakih. 2013. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Dodhy Hyronimus Ama Longgy. Budaya Patriarki Dan Pendidikan Anak Perempuan (Studi Pada Budaya Lamaholot Di Waipukang Nusa Tenggara Timur). Diakses dari laman https://core.ac.uk/download/pdf/33529093.pdf
Mariatul Qibtiyah Harun AR. Rethinking Peran Perempuan Dalam Keluarga . Diakses pada laman file:///C:/Users/Asus/Downloads/RETHINKING_PERAN_PEREMPUAN_DALAM_KELUARGA.pdf
Agung. Hindarkan Pendidikan Bias Gender pada Anak. Diakses pada laman https://ugm.ac.id/id/newsPdf/3546-hindarkan-pendidikan-bias-gender-pada-anak



Tulisan di atas adalah karya salah seorang anggota Kohati Komisariat Adab sebagai bentuk peningkatan budaya literasi.
Kindly get updates from us on our instagram account @kohatiadab  
Baca lainnya:
Semarak Hari Kartini
Kohati Adab
Merajut Pribadi Muslimah Insan Cita




Jumat, 05 Juni 2020



Merajut Kebersamaan Menuju Pribadi Muslimah Berkualitas Insan Cita 
(Oleh: Dzakiyah Fatih Rahmaningrum)
 
Korps HMI-Wati (Kohati) merupakan badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi bagi HMI-Wati dalam wacana dan dinamika gerakan perempuan. Sebagai badan khusus HMI, Kohati memiliki peran dalam membina muslimah sejati untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan bagi HMI-Wati khususnya. Status dan peran yang dimiliki Kohati ini semata-mata adalah untuk mewujudkan tujuan Kohati yaitu Terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Dengan spesialisasinya yang bergerak dibidang perempuan, maka sudah seharusnya Kohati mampu merespon perkembangan permasalahan keperempuanan dalam dunia kampus maupun masyarkaat.

Dalam rangka mewujudkan tujuan Kohati ini tidak dapat dipungkiri adanya ini banyak problem-problem yang masih belum bisa teratasi oleh Kohati, baik ditingkat pengurus, anggota maupun ekstrainer.Diantara problem-problem yang dihadapi Kohati yaitu; pertama, kurangnya rasa nyaman yang dirasakan oleh beberapa kader kohati. Seperti, terlihatnya sekat antara pengurus Kohati dan anggota, khususnya yang masih ekstrainer. Ketika dalam forum diskusi pengurus kohati lebih mendominasi forum dan sering bergerombol antar pengurus saja. Akibatnya, kader kohati enggan untuk menyuarakan pendapatnya, muncul sikap canggung kepada pengurus atau sesama kader. Perihal ini memang sepele, hanya saja kalau diabaikanakan berdampak besar terhadap sikap militan HMI-Wati dalam berhimpun dan konsekuensinya adalah hilangnya HMI-Wati dalam himpunan.

Kedua,kurangnya pendekatan personal yang terjalin antara pengurus, anggota dan ekstrainer. Pendekatan personal yang terjalin di lingkup Kohati semakin lama semakin terkikis. Pasalnya, pengurus, anggota maupun ekstrainer lebih sering bergaul dengan kawan sekelompoknya atau yang paling dianggap akrab. Komunikasi yang dilakukan pengurus kepada ekstrainer juga hanya sebatas pada hal-hal tertentu saja yang sifatnya formal. Seperti pemberitahuan diskusi, kajian maupun agenda-agenda lainnya. Kalaupun ada yang mampu berkomunikasi secara lebih dekat itupun hanya terjadi pada anggota-anggota tertentu saja, tidak menyeluruh. Hal ini tanpa disadari memicu lahirnya sikap iri dalam diri kader, yang kemudian membuat sebuah hubungan dalam himpunan tidak harmonis lagi.
Ketiga,manajemen waktu. Permasalahan yang sering muncul banyak disebabkan oleh manajemen waktu yang kurang baik. Manajemen waktu yang kurang baik akan membuat setiap pekerjaan tidak berjalan sesuai apa yang kita rencanakan. Begitu pula di dalam Kohati, manajemen waktu setiap anggota dirasa masih bertendensi mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. tidak dapat dipungkiri bahwa anggota Kohati adalah mahasiswi dan akademisi semua yang disibukkan dengan berbagai tugas kuliah maupun tugas lainnya. Masalah yang juga muncul disini adalah jarak rumah HMI-Wati yang jauh dari kampus menjadi kendala bagi HMI-Wati untuk sekedar berkumpul atau mengikuti agenda Kohati.

Keempat,kesadaran akan literasi. Beberapa permasalahan diatas dapat dikatakan sebagai permaslahan yang klasik, permaslahan yang sama sejak dahulu. Namun, ada permasalahan yang menurut penulis sangat familiar bagi Kohati yaitu kurangnya kesadaran akan literasi. Studi kasusnya, banyak anggota Kohati mulai menurun akan minat baca dan menulisnya. Pola hidup yang saat ini sangat dimanjakan oleh kemajuan zaman telah mengubur kesadaran anggota Kohati untuk meningkatkan daya kritisnya. Kalau ada istiah “sendiri aku membaca, berdua aku diskusi dan bertiga aku aksi” kini sudah jauh dari harapan untuk diwujudkan. Padahal kesadaran akan literasi inilah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI dan Kohati.

Kondisi-kondisi Kohati yang telah penulis uraikan diatas menjadi beberapa faktor yang membuat Kohati semakin jauh dari tujuannya, yaitu terbinannya muslimah yang berkualitas insan cita. Pada Mukaddimah Pedoman Dasar Kohati (PDK) menyebutkan bahwa dalam rangka memaknai peran strategis tersebut, HMI-Wai dituntut untuk menguasai ilmu agama sebagai landasan keimanan, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemudahan dalam aktivitas di organisasi, serta keterampilan yang tinggi dengan senantiasa menyadari fitrahnya. Lebih jauh untuk melihat usaha yang dilakukan dalam mewujudkan HMI-Wati yang berkualitas atau menjadi sosok perempuan yang ideal, ada kualifikasi yang sudah dibuat dan telah menjadi konsep pengembangan kualitas diri HMI-Wati. Dengan itu, HMI-Wati mempunyai kelebihan yaitu: kualifikasi intelektual, kualifikasi kepemimpinan, kualifikasi manajerial dan kualifikasi kemandirian.

Berdasarkan hal-hal di atas, akan lahir HMI-Wati yang menjadi sosok perempuan yang ideal, perempuan yang penuh keimanan, perempuan yang akan berguna untuk negara dan bangsa serta keluarganya. HMI-Wati tidak mudah terpengaruh dengan arus liberalisme, globalisasi dan modernisasi yang menjerumuskan manusia. Kalaupun modernisasi tidak dibendung lagi, maka HMI-Wati sudah siap menghadapinya dan tidak menjadi korban.

Melihat kondisi Kohati yang jauh dari kata ideal, oleh karena itu penulis memberikan solusi yang dirasa mampu mengatasi beberapa persoalan yang telah diuraikan di atas. Pertama, meningkatkan kesadaran literasi dengan mengoptimalkan peran perpustakaan, khususnya perpustakaan di komisariat. Perpustakaan merupakan gudang buku, sedangkan buku adalah sumber bacaan dan tulisan. Hal yang peru diperbaiki saat ini adalah memaksimalkan peran perpustakaan untuk membangun budaya literasi. Misalnya dengan menambah koleksi buku dan membuat komunitas baca tulis HMI-Wati. Semakin banyak membaca maka, makin banyak pengetahuan ataupun informasi yang dapat dikaji bersama. Pembiasaan berdiskusi usai membaca mampu meningkatkan ketajaman intelektual serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah dilingkup Kohati.

Kedua,meningkatkan solidaritas dilingkup Kohati. Bersosialisasi dengan orang lain memang tidak aan selalu mudah dan menyenangkan. Namun akan sangat indah ketika dapat saling memahami dan mengerti satu sama lain. menumbuhkan rasa empati kepada setiap HMI-Wati, perlu dipupuk agar HMI-wati mampu memahami seutuhnya perasaan HMI-Wati lain dan mampu menempatkan diri di posisinya sehingga apa yang akan kita lakukan dapat sesuai dengan apa yang dia butuhkan. Sikap empati harus ditumbuhkan untuk semua HMI-Wati, tidak hanya salah satu pihak saja.

Ketiga, menjaga silaturrahmi (komunikasi) di lingkup Kohati. Hal yang paling sederhana namun sudah mulai terkikis saat ini adalah kebiasaan saling sapa satu sama lain. Sebenarnya untuk menyapa satu sama lain tidak harus bertemu langsung, dapat dilakukan melalui media sosial dengan memberi komentar-komentar ringan. Hal kecil seperti ini sangat penting bagi HMI-Wati khusunya ekstrainer. Karena, mereka merasa dianggap keberadaanya di Kohati. Selain mereka merasakan keberadaanya dianggap, mereka akan mulai merasakan peran dan tanggungjawabnya di Kohati. Hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah sering-sering mengadakan perkumpulan. Misalnya, bincang-bincang ringan, main bareng, memasak bareng, dan lain sebagainya. Semakin sering HMI-Wati berkumpul maka akan mempermudah saling mengenal antara satu sama lain dan mulai mengetahui bagaimana karakternya. Selain itu, akan menumbuhkan rasa kekeluargaan yang hangat bahwa di HMI ini kita mampu berteman lebih dari saudara. 

Kebersamaan yang seperti inilah yang pada nantinya mampu menyadarkan HMI-Wati akan pilihannya ber-HMI. Di HMI inilah benar-benar tempat mereka berproses bersama-sama, tempat mereka bernaung, tempat mereka mengembangkan bakat dan potensinya demi mewujudkan tujuan Kohati, yaitu terbinanya muslimah berkualitas insan cita.






Tulisan di atas adalah karya salah seorang anggota Kohati Komisariat Adab sebagai bentuk peningkatan budaya literasi.
Kindly get updates from us on our instagram account @kohatiadab  
Baca lainnya:
Semarak Hari Kartini
Kohati Adab
Merajut Pribadi Muslimah Insan Cita