Jumat, 05 Juni 2020



Merajut Kebersamaan Menuju Pribadi Muslimah Berkualitas Insan Cita 
(Oleh: Dzakiyah Fatih Rahmaningrum)
 
Korps HMI-Wati (Kohati) merupakan badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi bagi HMI-Wati dalam wacana dan dinamika gerakan perempuan. Sebagai badan khusus HMI, Kohati memiliki peran dalam membina muslimah sejati untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan bagi HMI-Wati khususnya. Status dan peran yang dimiliki Kohati ini semata-mata adalah untuk mewujudkan tujuan Kohati yaitu Terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Dengan spesialisasinya yang bergerak dibidang perempuan, maka sudah seharusnya Kohati mampu merespon perkembangan permasalahan keperempuanan dalam dunia kampus maupun masyarkaat.

Dalam rangka mewujudkan tujuan Kohati ini tidak dapat dipungkiri adanya ini banyak problem-problem yang masih belum bisa teratasi oleh Kohati, baik ditingkat pengurus, anggota maupun ekstrainer.Diantara problem-problem yang dihadapi Kohati yaitu; pertama, kurangnya rasa nyaman yang dirasakan oleh beberapa kader kohati. Seperti, terlihatnya sekat antara pengurus Kohati dan anggota, khususnya yang masih ekstrainer. Ketika dalam forum diskusi pengurus kohati lebih mendominasi forum dan sering bergerombol antar pengurus saja. Akibatnya, kader kohati enggan untuk menyuarakan pendapatnya, muncul sikap canggung kepada pengurus atau sesama kader. Perihal ini memang sepele, hanya saja kalau diabaikanakan berdampak besar terhadap sikap militan HMI-Wati dalam berhimpun dan konsekuensinya adalah hilangnya HMI-Wati dalam himpunan.

Kedua,kurangnya pendekatan personal yang terjalin antara pengurus, anggota dan ekstrainer. Pendekatan personal yang terjalin di lingkup Kohati semakin lama semakin terkikis. Pasalnya, pengurus, anggota maupun ekstrainer lebih sering bergaul dengan kawan sekelompoknya atau yang paling dianggap akrab. Komunikasi yang dilakukan pengurus kepada ekstrainer juga hanya sebatas pada hal-hal tertentu saja yang sifatnya formal. Seperti pemberitahuan diskusi, kajian maupun agenda-agenda lainnya. Kalaupun ada yang mampu berkomunikasi secara lebih dekat itupun hanya terjadi pada anggota-anggota tertentu saja, tidak menyeluruh. Hal ini tanpa disadari memicu lahirnya sikap iri dalam diri kader, yang kemudian membuat sebuah hubungan dalam himpunan tidak harmonis lagi.
Ketiga,manajemen waktu. Permasalahan yang sering muncul banyak disebabkan oleh manajemen waktu yang kurang baik. Manajemen waktu yang kurang baik akan membuat setiap pekerjaan tidak berjalan sesuai apa yang kita rencanakan. Begitu pula di dalam Kohati, manajemen waktu setiap anggota dirasa masih bertendensi mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. tidak dapat dipungkiri bahwa anggota Kohati adalah mahasiswi dan akademisi semua yang disibukkan dengan berbagai tugas kuliah maupun tugas lainnya. Masalah yang juga muncul disini adalah jarak rumah HMI-Wati yang jauh dari kampus menjadi kendala bagi HMI-Wati untuk sekedar berkumpul atau mengikuti agenda Kohati.

Keempat,kesadaran akan literasi. Beberapa permasalahan diatas dapat dikatakan sebagai permaslahan yang klasik, permaslahan yang sama sejak dahulu. Namun, ada permasalahan yang menurut penulis sangat familiar bagi Kohati yaitu kurangnya kesadaran akan literasi. Studi kasusnya, banyak anggota Kohati mulai menurun akan minat baca dan menulisnya. Pola hidup yang saat ini sangat dimanjakan oleh kemajuan zaman telah mengubur kesadaran anggota Kohati untuk meningkatkan daya kritisnya. Kalau ada istiah “sendiri aku membaca, berdua aku diskusi dan bertiga aku aksi” kini sudah jauh dari harapan untuk diwujudkan. Padahal kesadaran akan literasi inilah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI dan Kohati.

Kondisi-kondisi Kohati yang telah penulis uraikan diatas menjadi beberapa faktor yang membuat Kohati semakin jauh dari tujuannya, yaitu terbinannya muslimah yang berkualitas insan cita. Pada Mukaddimah Pedoman Dasar Kohati (PDK) menyebutkan bahwa dalam rangka memaknai peran strategis tersebut, HMI-Wai dituntut untuk menguasai ilmu agama sebagai landasan keimanan, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemudahan dalam aktivitas di organisasi, serta keterampilan yang tinggi dengan senantiasa menyadari fitrahnya. Lebih jauh untuk melihat usaha yang dilakukan dalam mewujudkan HMI-Wati yang berkualitas atau menjadi sosok perempuan yang ideal, ada kualifikasi yang sudah dibuat dan telah menjadi konsep pengembangan kualitas diri HMI-Wati. Dengan itu, HMI-Wati mempunyai kelebihan yaitu: kualifikasi intelektual, kualifikasi kepemimpinan, kualifikasi manajerial dan kualifikasi kemandirian.

Berdasarkan hal-hal di atas, akan lahir HMI-Wati yang menjadi sosok perempuan yang ideal, perempuan yang penuh keimanan, perempuan yang akan berguna untuk negara dan bangsa serta keluarganya. HMI-Wati tidak mudah terpengaruh dengan arus liberalisme, globalisasi dan modernisasi yang menjerumuskan manusia. Kalaupun modernisasi tidak dibendung lagi, maka HMI-Wati sudah siap menghadapinya dan tidak menjadi korban.

Melihat kondisi Kohati yang jauh dari kata ideal, oleh karena itu penulis memberikan solusi yang dirasa mampu mengatasi beberapa persoalan yang telah diuraikan di atas. Pertama, meningkatkan kesadaran literasi dengan mengoptimalkan peran perpustakaan, khususnya perpustakaan di komisariat. Perpustakaan merupakan gudang buku, sedangkan buku adalah sumber bacaan dan tulisan. Hal yang peru diperbaiki saat ini adalah memaksimalkan peran perpustakaan untuk membangun budaya literasi. Misalnya dengan menambah koleksi buku dan membuat komunitas baca tulis HMI-Wati. Semakin banyak membaca maka, makin banyak pengetahuan ataupun informasi yang dapat dikaji bersama. Pembiasaan berdiskusi usai membaca mampu meningkatkan ketajaman intelektual serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah dilingkup Kohati.

Kedua,meningkatkan solidaritas dilingkup Kohati. Bersosialisasi dengan orang lain memang tidak aan selalu mudah dan menyenangkan. Namun akan sangat indah ketika dapat saling memahami dan mengerti satu sama lain. menumbuhkan rasa empati kepada setiap HMI-Wati, perlu dipupuk agar HMI-wati mampu memahami seutuhnya perasaan HMI-Wati lain dan mampu menempatkan diri di posisinya sehingga apa yang akan kita lakukan dapat sesuai dengan apa yang dia butuhkan. Sikap empati harus ditumbuhkan untuk semua HMI-Wati, tidak hanya salah satu pihak saja.

Ketiga, menjaga silaturrahmi (komunikasi) di lingkup Kohati. Hal yang paling sederhana namun sudah mulai terkikis saat ini adalah kebiasaan saling sapa satu sama lain. Sebenarnya untuk menyapa satu sama lain tidak harus bertemu langsung, dapat dilakukan melalui media sosial dengan memberi komentar-komentar ringan. Hal kecil seperti ini sangat penting bagi HMI-Wati khusunya ekstrainer. Karena, mereka merasa dianggap keberadaanya di Kohati. Selain mereka merasakan keberadaanya dianggap, mereka akan mulai merasakan peran dan tanggungjawabnya di Kohati. Hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah sering-sering mengadakan perkumpulan. Misalnya, bincang-bincang ringan, main bareng, memasak bareng, dan lain sebagainya. Semakin sering HMI-Wati berkumpul maka akan mempermudah saling mengenal antara satu sama lain dan mulai mengetahui bagaimana karakternya. Selain itu, akan menumbuhkan rasa kekeluargaan yang hangat bahwa di HMI ini kita mampu berteman lebih dari saudara. 

Kebersamaan yang seperti inilah yang pada nantinya mampu menyadarkan HMI-Wati akan pilihannya ber-HMI. Di HMI inilah benar-benar tempat mereka berproses bersama-sama, tempat mereka bernaung, tempat mereka mengembangkan bakat dan potensinya demi mewujudkan tujuan Kohati, yaitu terbinanya muslimah berkualitas insan cita.






Tulisan di atas adalah karya salah seorang anggota Kohati Komisariat Adab sebagai bentuk peningkatan budaya literasi.
Kindly get updates from us on our instagram account @kohatiadab  
Baca lainnya:
Semarak Hari Kartini
Kohati Adab
Merajut Pribadi Muslimah Insan Cita


Tidak ada komentar:

Posting Komentar