Selasa, 21 Februari 2023

Pemilu 2024: Perempuan Berpolitik, Mengapa Tidak?


Dalam hal politik, perempuan kerap kali dijadikan warga “kelas dua”, ini diakibatkan juga karena perempuan masih rendah dalam strata pendidikan dan kurang speak up dalam dunia perpolitikan. Hari-hari ini, politik Indonesia masih didominasi oleh peran, suara, dan perspektif  laki-laki.

Kurangnya pemahaman perempuan akan hiruk pikuk dunia politik ini, jika dilihat dari perspektif kepemimpinan, streotipe perempuan yang lebih cenderung menggunakan perasaannya dalam bertindak dan berbicara masih lengket dalam kognisi publik Indonesia. Sedangkan laki-laki cenderung kepada pemikiran akal yang logis.

Namun, apakah ini menjadi alasan yang cukup kuat bahwasannya perempuan akan tetap “lemah” dalam dunia politik? Tentu tidak, sebagai perempuan, kita juga punya target dan keinginan dalam pengabdian kepada negara atau kita - harus “urun tangan” membangun bangsa – meminjam istilah Anies Baswedan.  

Maka dari ini, keterlibatan perempuan sangat penting untuk speak up masalah-masalah perempuan dan gendernya. Di sisi lain, diperlukan juga perspektif perempuan dalam melihat kebijakan dan keputusan negara tentu saja dari kacamata perempuan.

Agenda ini menjadi sangat penting, di tengah stretotipe perempuan yang masih lemah menjadi pemimpin. Walaupun pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan itu sama saja. Tinggal bagaimana keduanya bisa bekerja sama (mubadalah) dalam kerja-kerjanya dan kontribusinya dalam untuk bangsa dan masyarakat.

Momentum ini berdayung sambut dengan Pemilu 2024, di mana, digadang-gadang akan hadirnya perempuan sebagai calon presiden. Sebenarnya baik dari laki-laki maupun perempuan yang nantinya menjadi  presiden tinggal bagaimana seorang itu bisa memajukan, menjamin dan menyejahterakan rakyat sesuai konstitusi.

 

Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu

            Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata hanya karena jenis kelaminnya, itulah pentingnya keadilan dan kesetaraan gender. Perempuan pun berhak berpartisipasi dalam politik, bahkan peran itu sangat penting sebagai ikhtiar perjuangan kesetaraan gender dan akses perempuan pada ranah publik.

 Sebagaimana dimandatkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000, dalam kebijakan publik hatta menghasilkan produk hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perjuangan perempuan ke depan.

Oleh karena itu, strategi yang harus ditempuh yakni adanya keterwakilan perempuan di parlemen dan di lembaga penyelenggara pemilu harus jadi kenyataan. Untuk itu perlu mendorong dan menominasikan 30% calon legislatif perempuan dan mendorong kader-kader perempuan pergerakan untuk maju di seleksi lembaga penyelenggara pemilu. Erat kaitan dengan hal ini, penting meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan pemilih sehingga mereka secara cerdas memilih waktu dan parpol yang dapat menyuarakan aspirasi mereka.

Keterwakilan perempuan dalam bidang politik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini mulai menyemai harapan dari perempuan untuk memimpin. Hal itu didukung sikap perempuan yang selalu ingin belajar dan ulet.

Hasil riset membuktikan, pemimpin perempuan memiliki lebih banyak keinginan untuk melanjutkan sekolah dan pengembangan diri yang merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Perempuan pun dapat mengambil keputusan dengan berani dan bijaksana.

Hasilnya sebuah organisasi yang dipimpin perempuan dapat memiliki tim yang kooperatif dan memiliki rasa kekeluargaan, hal ini membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan tak kalah hebatnya dengan laki-laki bahkan beberapa sifat naluriah yang ada dalam perempuan menjadikannya sangat cocok menjadi seorang pemimpin.

Selain itu, perempuan juga memiliki keterampilan berkomunikasi yang efektif, memiliki banyak inovasi, kejujuran, dan yang pasti dapat menjadi motivator yang baik.

 


-Najwa-

1 komentar: