Dalam hal politik, perempuan kerap kali
dijadikan warga “kelas dua”, ini diakibatkan juga karena perempuan masih rendah
dalam strata pendidikan dan kurang speak up dalam dunia perpolitikan. Hari-hari
ini, politik Indonesia masih didominasi oleh peran, suara, dan perspektif laki-laki.
Kurangnya pemahaman perempuan akan hiruk pikuk
dunia politik ini, jika dilihat dari perspektif kepemimpinan, streotipe perempuan
yang lebih cenderung menggunakan perasaannya dalam bertindak dan berbicara
masih lengket dalam kognisi publik Indonesia. Sedangkan laki-laki cenderung
kepada pemikiran akal yang logis.
Namun, apakah ini menjadi alasan yang cukup
kuat bahwasannya perempuan akan tetap “lemah” dalam dunia politik? Tentu tidak,
sebagai perempuan, kita juga punya target dan keinginan dalam pengabdian kepada
negara atau kita - harus “urun tangan” membangun bangsa – meminjam istilah
Anies Baswedan.
Maka dari ini, keterlibatan perempuan sangat
penting untuk speak up masalah-masalah perempuan dan gendernya. Di sisi
lain, diperlukan juga perspektif perempuan dalam melihat kebijakan dan
keputusan negara tentu saja dari kacamata perempuan.
Agenda ini menjadi sangat penting, di tengah
stretotipe perempuan yang masih lemah menjadi pemimpin. Walaupun pada dasarnya
antara laki-laki dan perempuan itu sama saja. Tinggal bagaimana keduanya bisa
bekerja sama (mubadalah) dalam kerja-kerjanya dan kontribusinya dalam
untuk bangsa dan masyarakat.
Momentum ini berdayung sambut dengan Pemilu
2024, di mana, digadang-gadang akan hadirnya perempuan sebagai calon presiden.
Sebenarnya baik dari laki-laki maupun perempuan yang nantinya menjadi presiden tinggal bagaimana seorang itu bisa
memajukan, menjamin dan menyejahterakan rakyat sesuai konstitusi.
Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu
Perempuan
tidak bisa dipandang sebelah mata hanya karena jenis kelaminnya, itulah pentingnya
keadilan dan kesetaraan gender. Perempuan pun berhak berpartisipasi dalam
politik, bahkan peran itu sangat penting sebagai ikhtiar perjuangan kesetaraan
gender dan akses perempuan pada ranah publik.
Sebagaimana dimandatkan dalam Inpres No. 9
tahun 2000, dalam kebijakan publik hatta menghasilkan produk hukum yang
sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perjuangan
perempuan ke depan.
Oleh karena itu, strategi yang harus ditempuh yakni
adanya keterwakilan perempuan di parlemen dan di lembaga penyelenggara pemilu
harus jadi kenyataan. Untuk itu perlu mendorong dan menominasikan 30% calon
legislatif perempuan dan mendorong kader-kader perempuan pergerakan untuk maju
di seleksi lembaga penyelenggara pemilu. Erat kaitan dengan hal ini, penting
meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan pemilih sehingga mereka secara
cerdas memilih waktu dan parpol yang dapat menyuarakan aspirasi mereka.
Keterwakilan perempuan dalam bidang politik
dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini mulai menyemai harapan
dari perempuan untuk memimpin. Hal itu didukung sikap perempuan yang selalu
ingin belajar dan ulet.
Hasil riset membuktikan, pemimpin perempuan memiliki
lebih banyak keinginan untuk melanjutkan sekolah dan pengembangan diri yang
merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Perempuan pun dapat mengambil
keputusan dengan berani dan bijaksana.
Hasilnya sebuah organisasi yang dipimpin
perempuan dapat memiliki tim yang kooperatif dan memiliki rasa kekeluargaan, hal
ini membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan tak kalah hebatnya dengan laki-laki
bahkan beberapa sifat naluriah yang ada dalam perempuan menjadikannya sangat
cocok menjadi seorang pemimpin.
Selain itu, perempuan juga memiliki
keterampilan berkomunikasi yang efektif, memiliki banyak inovasi, kejujuran,
dan yang pasti dapat menjadi motivator yang baik.